Perang Aceh berkobar dilatarbelakangi oleh
berbagai hal:
a.
Dibukanya Terusan Suez menjadikan Aceh
semakin ramai dalam perdagangan saat itu. Hal ini sangat dimungkinkan, karena
Aceh berada di tepi Selat Malaka. Sehingga Belanda berambisi ingin menguasai
Aceh.
b.
Tanggal 2 November 1871, Inggris dan Belanda
mengadakan kesepakatan bersama dalam Traktat Sumatra. Isinya Belanda akan
memperoleh kebebasan memperluas kekuasaannya di Aceh, sementara Inggris dapat
berdagang di Siak.
c.
Menanggapi Traktat Sumatra itu, Aceh
mempersiapkan diri untuk perang. Aceh minta bantuan Turki, Italia, dan Amerika
Serikat, tetapi mengalami kegagalan. Hal ini selalu diawasi oleh Belanda.
Kegagalan ini berarti Aceh harus siap
berperang sendirian dalam mengatasi intervensi Belanda. Rakyat berjuang di
bawah para tokoh Aceh. Diantaranya Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak
Dien, Teuku Ibrahim, Teuku Umar, dan Teuku Imam Leungbata.
Kronologis perang Aceh, adalah sebagai
berikut:
Tanggal 14 April 1873, Belanda melancarkan
serangan pertama yang dipimpin Mayor Jenderal Kohler. Dalam pertempuran di
Masjid Raya Baiturahman (pusat pertahanan Aceh), Kohler tewas. Penggantinya
Mayor Jenderal van Swieten, berhasil merebut Masjid Raya Baiturahman. Pasukan
Aceh mundur dan memindahkan pusat kekuasaannya di istana Sultan Aceh di
Kutaraja, bahkan dapat menahan serangan Belanda. Belanda dapat dipukul mundur,
Masjid Raya Baiturahman dapat direbut kembali. Seorang ulama Aceh yang sangat
gigih melawan Belanda adalah Teuku Cik Di Tiro. Mayor Jenderal van Swieten
diganti Jenderal Pel. Dalam pertempuran di Tonga mereka berdua tewas.
Tewasnya dua perwira tinggi Belanda merupakan
pukulan berat bagi Belanda. Siasatnya diganti dengan siasat “garis pemusatan”
atau “konsentrasi stelsel”. Dengan siasat ini, Belanda tidak mengadakan
serangan ke luar kota. Tetapi pasukan-pasukan Belanda dipusatkan di
benteng-benteng sekitar kota, terutama Kotaraja. Tugas pasukan Belanda hanya
mengadakan patroli dari benteng satu ke benteng lain di sekitar kota. Menghadapi
siasat tersebut, para gerilyawan Aceh mengadakan penyerbuan ke benteng-benteng
dan tangsi-tangsi tentara Belanda. Menyergap para patroli polisi, merusak jalan
dan jembatan yang dapat digunakan Belanda. Para pemimpin pejuang Aceh dalam
pertempuran ini di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien (isteri Teuku Umar),
Panglima Polim.
Menghadapi serangan secara besar-besaran dari
gerilyawan Aceh membuat Belanda kewalahan. Hal ini karena kekuatan kedua pihak
seakan sama kuat. Perang berlangsung cukup lama, hampir 10 tahun. Dalam kurun
waktu lama dan perang ini telah berjalan 10 tahun, Aceh belum dapat
ditaklukkan. Untuk itulah para pembesar Belanda mulai memikirkan siasat baru.
Siasat diganti dengan “adu domba” atas usul dari gubernur militer di Aceh,
Deyckerhoff. Usul itu diterima oleh Pemerintah Belanda, karena tidak banyak
memakan biaya. Pelaksanaannya ialah para pemimpin Belanda mulai membujuk
orang-orang Aceh agar bersedia bekerja sama dengan Belanda. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Teuku Umar untuk bekerja sama dengan Belanda.
Pada tahun 1893, Teuku Umar dan pasukannya
menyerah kepada Belanda. Teuku Umar diberi gelar oleh Pemerintah Belanda Teuku
Johan Pahlawan, serta diberi persenjataan lengkap untuk memimpin pasukannya.
Pada tahun 1896, Teuku Umar beserta pasukannya berbalik membela pejuang Aceh.
Ia kemudian menyerang pusat-pusat pertahanan Aceh.
Pemerintah Belanda Merasa Tertipu Dengan
Tindakan Teuku Umar dan Pasukannya
Gubernur militer Deyckerhoff dianggap sebagai
bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Gubernur militer Deyckerhoff
kemudian ia dipecat. Melihat keadaan ini, pemerintah Belanda memberi tugas
kepada Dr. Snouck Hurgronje. Ia seorang ahli agama Islam, hukum adat, dan
kebudayaan untuk menyelidiki masyarakat Aceh. Maksudnya untuk mengetahui
kelemahan dan kekuatan pihak Aceh.
Dalam penyelidikannya, ia menyamar sebagai
ulama dari Turki, bernama Abdul Gaffar. Dari penyelidikannya, Dr. Snouck
Hurgronje menyusun sebuah buku yang berjudul De Atjehers. Dalam bukunya, ia
mengusulkan bahwa Aceh harus ditaklukkan dengan menggunakan siasat kekerasan
yaitu menyerang dan menggempur pusat-pusat pertahanan para ulama.
Atas dasar penyelidikan dan usul itu,
pemerintah Belanda menugaskan Jenderal Van Heutsz untuk melaksanakan tugas
tersebut. Ia membentuk pasukan anti gerilya/marschose (marechausse).
Pada tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh. Perjuangan
dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nyak DienTahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah
terpaksa menyerah karena keluarganya ditawan. Hingga pada tahun 1904, para
pemimpin Aceh dipaksa menandatangani Perjanjian Singkat atau Plakat Pendek.
Isinya menyatakan bahwa Aceh mengakui kekuasaan Hindia Belanda.
Walaupun begitu, perjuangan Aceh terus
berlangsung. Perlawanan Aceh baru dapat betul-betul dipatahkan pada tahun 1917.
Perang Banjar (1858–1866) Latar belakang terjadi perang banjar yakni:
a.
Pemerintah kolonial Belanda campur tangan
dalam urusan pergantian takhta kerajaan. Pemerintah kolonial Belanda mendukung
Pangeran Tamjidullah yang tidak disukai oleh rakyatnya.
b.
Setelah Pangeran Tamjidullah turun takhta,
pemerintah kolonial Belanda mengumumkan penghapusan Kerajaan Banjarmasin.
Tokoh-tokoh banjar ikut ambil dalam perang tersebut. Antara lain: Pangeran
Prabu Anom, Pangeran Hidayat, Pangeran Antasari, Kyai Demang Leman, Haji
Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang.
Pertempuran terjadi di Sungai Barito. Kapal
milik Belanda Omrust dibakar dan ditenggelamkan oleh rakyat. Tahun 1861,
Pangeran Hidayat terpaksa menyerah dan diasingkan ke Cianjur. Tahun 1862,
Pangeran Antasari wafat. Kyai Demang Leman tertangkap dan dihukum gantung. Haji
Buyasin gugur dalam pertempuran di Tanah Dusun. Satu per satu pemimpin gugur
sedikit demi sedikit kekuatan rakyat Banjar melemah. Kehilangan para pemimpin,
membuat pertempuran dapat dipatahkan oleh Belanda.