Masyarakat Minangkabau telah lama memeluk
agama Islam, tetapi masih memegang teguh adat-istiadat. Hal itu disebabkan oleh
adat bersendi syarak. Syarak bersendi kitabullah, yaitu adat-istiadat berdasarkan
hukum adat dan kitab Allah.
Awal abad ke-19, terjadi perubahan besar di
Minangkabau. Waktu itu banyak orang Minangkabau pulang dari menunaikan ibadah
haji. Selama beribadah haji, mereka terpengaruh oleh gerakan kaum Wahabi di
Arab Saudi. Gerakan Wahabi adalah gerakan yang menghendaki ajaran Islam
diajarkan secara murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sepulang
menunaikan ibadah haji, orang-orang Minangkabau menyebarkan ajaran Wahabi di
Sumatra Barat.
Pengikut ajaran Wahabi di Minangkabau disebut
Kaum Padri.
Perang Padri dilatarbelakangi oleh
pertentangan antara kaum Adat dan kaum Padri. Kaum Padri berusaha menghilangkan
tradisi-tradisi Minangkabau yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu
ditentang oleh kaum Adat. Kemudian kaum Adat minta bantuan kepada Belanda.
Pertentangan kaum Adat dan kaum Padri memuncak dalam sebuah pertempuran. Kaum
Padri berada di bawah kepemimpinan Datuk Malim Basa/Muhammad Syahab/Peto (Pendito)
Syarif/Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, Tuanku nan
Alahan, Tuanku Pasaman, Tuanku nan Renceh. Sedangkan pemimpin kaum Adat ialah
Datuk Sati.
Perang Padri, dapat dibagi dalam dua periode
yakni:
a. Periode I (1821-1825) terjadi sebelum
Perang Diponegoro
Ditandai perang antara kaum Padri dengan kaum
Adat yang dibantu Belanda. Pertempuran pertama terjadi di kota Lawas. Kemudian
menjalar ke daerah-daerah lain seperti diAlahan Panjang. Kaum Padri oleh Datuk
Bandaro, sedangkan kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati. Setelah Datuk Bandaro
meninggal, pimpinan kaum Padri digantikan oleh Datuk Malim Basa. Ia
berkedudukan di Bonjol, sehingga terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Bonjol menjadi pusat pertahanan kaum Padri. Sementara kaum Adat minta bantuan
kepada Belanda.
Siasat perang kaum Padri dengan bergerilya
untuk mengatasi keadaan ini. Belanda dengan siasat devideetimpera (adu
domba) antara kaum Padri dan kaum Adat. Pusat pertahanan kaum Padri berada di
Tanjung Alam dan mendirikan benteng di Bonjol. Pusat pertahanan Belanda di
benteng Fort van der Capellen di Batusangkar, dan benteng Fort de Kock di
Bukittinggi. Belum selesai mengatasi perlawanan di Minangkabau, tiba-tiba di
Jawa pecah Perang Diponegoro. Keadaan ini sempat membuat kacau Belanda. Untuk
mengatasinya, Belanda menawarkan perundingan. Akhirnya diadakan perundingan di
Padang, pada tanggal 15 November 1825.
b. Periode II (1830–1837) terjadi setelah
Perang Diponegoro
Saat Belanda mengatasi perang Diponegoro di
Jawa, kaum adat sadar bahwa selama ini Belanda hanya memperalat. Belanda hanya
ingin menguasai tanah Minangkabau. Kenyataan ini membuat kaum adat berbalik
membantu kaum Padri. Bersama kaum Padri, kaum Adat mengangkat senjata. Mereka
melawan penjajah Belanda, mempertahankan persada Minangkabau. Perang terjadi
bukan lagi masalah agama, melainkan perang mempertahankan wilayah.
Tanggal 21 September 1837, benteng Bonjol
jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol ditangkap Belanda, lalu diasingkan
ke Cianjur (Jawa Barat), kemudian dipindahkan ke Ambon (Maluku). Namun begitu
perlawanan masih tetap berlangsung di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, Tuanku
Nan Cerdik, dan Tuanku Nan Alahan. Perang Padri berakhir setelah Tuanku Nan
Alahan menyerah.